Unfinished Work, That is Me (2)

Bagian 1 nya mana? Mungkin anda akan bertanya demikian. Jawabannya ada. Tetapi belum selesai saya tulis.. kita langsung saja lompat ke sini.

Jadi tahun ini saya punya beberapa resolusi. Salah satu resolusi itu adalah melibatkan sebuah bidang yang sudah lama menjadi passion saya, tetapi saya biarkan begitu saja karena tuntutan kehidupan. Alhasil, ternyata passion itu terus menerus mengejar saya dan akhirnya setelah perenungan panjang, dibantu pula oleh psikolog saya yang baik hati dan bijaksana, Mbak A, saya pun memutuskan untuk meladeni passion ini dengan segala resikonya.

Tentu saja, passion yang saya maksud itu adalah menjadi seorang penulis.

Dear Lord Almighty. Sampai hari ini saya tidak tahu apakah yang sedang saya lakukan ini tepat atau tidak. Saya me-neglect karir yang menghasilkan banyak uang ini demi mengejar ketenangan batin. Namun demikian, batin ini tidak kunjung tenang juga, karena kebutuhan material. Alamakjang. 
Saya mengikuti kelas-kelas menulis, mulai dari kelas menulis fiksi, content creator, yang tentu saja perlu uang. Lalu saya latihan membuat konten, baca jurnal, beli buku-buku untuk riset cerita, duduk di kafe untuk menulis baik calon konten maupun novel. Itu pun butuh uang.

Tidak hanya itu saja. Ternyata jalan ninja ini terasa begitu sepi. Iya, saya kesepian. Sepi bukan karena tidak punya teman ngobrol. Teman saya banyak, hei. Mulai dari yang suka tukaran memes, sampai yang bisa diajak deep talk. Semuanya bisa. Tetapi. Tidak ada teman sharing untuk hal yang sedang saya usahakan ini. Semua sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan milenial mereka masing-masing. 

Saya tidak tahu saya bisa bertahan sampai berapa lama. Suatu hari nanti saya kembali membaca diary ini, saya sulit membayangkan apa yang akan saya rasakan saat itu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: Last Minute in Manhattan