Bilangan Fu: Open Minded
Bilangan Fu by Ayu UtamiMy rating: 4 of 5 stars
Ini buku Ayu Utami pertama yang saya baca. Seperti judul dan isinya, buku ini berada dalam batas buku fiksi dan non fiksi. Antara 0 dan 1, alias si bilangan fu.
Saya akui, salah satu buku terberat yang pernah saya baca. Tidak saja harus membuka hati dan pikiran untuk memahami maknanya, selain itu cukup kaya dengan istilah-istilah baku bahasa Indonesia yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. (maklum, bukan pembaca sastra sejati)
Sekalipun begitu, tak seperti biasanya, buku ini sangat memikat bagi saya. Membacanya membuat saya banyak merenung, terbuai dengan macam dongeng lokal yang sebelumnya tak pernah saya tahu, serta tercengang dengan pemikiran Ayu Utami tentang 3M (Monotheisme-Moderenisme-Militerisme) sebagai penyebab keserakahan manusia dan menawarkan pemikiran baru, postmodernisme.
Mengenai alur ceritanya. Cukup menarik dengan kisah cinta segitiga Yuda-Marja-Parangjati, tetapi saya rasa hanya sebagai penyegar. Tak sebanding dengan isu-isu spiritualisme kritis dan pelestarian lingkungan yang diusung buku ini.
Direkomendasikan bagi para penggemar sastra, pemikir kritis, sejarawan dan.... orang-orang fanatik :p
Sekalipun begitu, tak seperti biasanya, buku ini sangat memikat bagi saya. Membacanya membuat saya banyak merenung, terbuai dengan macam dongeng lokal yang sebelumnya tak pernah saya tahu, serta tercengang dengan pemikiran Ayu Utami tentang 3M (Monotheisme-Moderenisme-Militerisme) sebagai penyebab keserakahan manusia dan menawarkan pemikiran baru, postmodernisme.
Mengenai alur ceritanya. Cukup menarik dengan kisah cinta segitiga Yuda-Marja-Parangjati, tetapi saya rasa hanya sebagai penyegar. Tak sebanding dengan isu-isu spiritualisme kritis dan pelestarian lingkungan yang diusung buku ini.
Direkomendasikan bagi para penggemar sastra, pemikir kritis, sejarawan dan.... orang-orang fanatik :p
Orang-orang Fanatik?
BalasHapusAh, ya. Sayangnya belum tentu mereka mengerti 'maksud' buku ini.
Paling geli kalau lihat betapa lebayna Pemuda K dalam menunjukkan betapa relijius dirinya.
Sedihnya di negara kita, kesucian itu dilihat dari "seberapa rapat pakaianmu, seberapa panjang ayat yang bisa kau kutip, dan seberapa sering kau membawa nama Tuhan di bibirmu," bukannya pada "seberapa sesuai jiwa dan tinda-tandukmu dengan ajaran kebaikan yang disabdakan Tuhan."
iya juga sih. Orang yang menjadi fanatik sudah pasti pandangan mereka sempit. Baca buku ini perlu pembukaan pikiran yang luas seluas-luasnya.
BalasHapusSupaya bisa menilai dengan bijaksana dan bukan cuma luarnya aja.
Tapi aku harap sih, dari 100 fanatik yang membaca, setidaknya lumayanlah jika ada 1 fanatik yang merenungkan maknanya sungguh-sungguh. Siapa tahu suatu saat nanti si fanatik bisa berubah jadi antik (lho? XD)