CINTA SI SEMUT KECIL
Sempat kuikutkan cerita ini dalam ajang lomba cerita dongeng anak September Ceria di situs kemudian.com, tetapi tak jadi karena tak ada waktu mengedit... >.<
---------------------------------------------------------------------------------------
"Aku mencintaimu."
Sejenak ia terdiam mendengar ucapan makhluk hitam mungil itu. Menatap tak bergerak. Lalu sejenak jadi dua jenak, lalu tiga jenak, empat jenak dan pada jenak kelima, meledaklah tawanya.
Semut kecil itu merengut kesal mendengar tawa si macan betina. Padahal ia sudah sungguh-sungguh mengerahkan seluruh keberanian dan menyatakan cinta pada macan cantik pujaan hatinya.
"Aku serius lho!" ujarnya lagi.
Si macan akhirnya berhasil menghentikan tawanya, lalu berbatuk-batuk yang kedengaran dibuat-buat. "Ehem. Ehem. Ehem." Lalu ia menatap si semut kecil. Kendati ia berusaha untuk serius, tapi sulit sekali rasanya menahan rasa geli di perutnya. Bibirnya terus menerus mengulum senyuman. Mungkin kelihatan meledek, tapi macan tak bisa menahan diri.
"Semut, maaf ya. Kamu makhluk yang tak sepadan buatku. Apa kau tidak lihat? Tubuhmu begitu mungil, dan aku begitu besar," kata macan blak-blakan. "Bila diibaratkan, kita berdua bagaikan langit dan bumi. Bulan dan matahari. Siang dan malam. Lautan dan daratan. Surga dan..."
"Cukup cukup cukup!" potong semut sambil menutupi kedua antenanya dengan kaki depannya. "Tentu saja aku mengerti maksudmu, macanku. Aku sadar kita memang berbeda. Tapi apa cinta peduli dengan semua itu?"
Macan menggeleng tak habis pikir. "Aneh sekali kamu ini, semut. Bukannya kamu diciptakan untuk mencintai ratumu, tapi kenapa kamu malah mencintai aku? Apa kau tidak tahu bahwa aku ini pemakan daging?" Macan betina itu memamerkan taring tajamnya yang selama ini ampuh menciutkan nyali pemburu.
Semut tertawa melihat kelakuan macan. "Macanku, alih-alih membuatku takut, kamu malah membuatku semakin terpesona padamu. Lagipula aku tahu kau tidak suka daging semut kan?"
Macan pun tertawa. "Aku suka padamu, teman kecilku. Kau cerdas. Memang benar, aku harus memakan ribuan makhluk seukuranmu untuk mengenyangkan perut. Lalu macan betina itu memasang wajah serius dan berkata hati-hati. "Tapi maaf ya, semut. Bagaimana pun juga, seekor betina tentunya mencari jantan kuat yang bisa melindungi. Bagaimana mungkin kau bisa melakukannya dengan tubuh sekecil itu? Apa kau ingat? Malah aku yang melindungimu waktu itu."
Semut pun terdiam mendengar kata-kata macan. Memang seminggu yang lalu, dirinya hampir mati tenggelam karena jatuh dari pohon tempat tinggalnya. Untunglah tubuhnya mendarat tepat di atas daun mengambang di atas permukaan sungai, tapi celakanya kaki-kaki mungilnya hanya difungsikan untuk mencari makan, bukan mendayung. Jadilah si semut terancam tenggelam atau mati kelaparan di tengah sungai.
Dengan sisa tenaganya, ia berteriak sekuat tenaga dan untunglah si macan betina kebetulan lewat dan suaranya berhasil ditangkap telinga segitiga berbulu loreng si macan. Alhasil, terjadilah penyelamatan heroik -bagi-si-semut-tentunya. Dan itulah perjumpaan kali pertama mereka.
"Tapi aku yakin. Aku bisa melindungimu, macanku." Semut bersikeras. "Cintaku akan menyelamatkanmu!"
Tapi Macan betina cuma mengangkat bahu menanggapi ucapan romantis itu. "Kuharap begitu, semut. Jika memang begitu adanya, aku bersedia menjadi kekasihmu."
Semut pun girang. Di hari-hari selanjutnya, ia selalu mengawasi kemana pun si macan betina pergi. Dengan penuh tekad, akan melindungi macan. Macan pergi ke kiri, semut ikut ke kiri. Macan ke kanan, semut ikut ke kanan dan begitu seterusnya. Tak kenal letih mengejar macam dengan kaki-kaki mungilnya. Tak kenal malu disoraki seantero penghuni jagad hutan.
Hingga suatu hari, macan kesal dengan tingkah si semut. "Berhentilah mengikutiku! Kau membuatku kesal! Lagipula sudah ada macan jantan yang menyukaiku, kau bisa membuat semuanya jadi berantakan!"
Semut sangat terpukul mendengarnya. Dengan penuh rasa kepedihan dan berat di hati, dipenuhinya permintaan si macan. Bila memang pujaan hatinya bahagia tanpa dirinya, maka ia tidak akan keberatan bila harus menderita.
Hari demi hari berlalu. Namun semut tidak dapat melupakan cintanya pada macan betina yang cantik itu. Kerinduannya menumpuk hampir meledak di dada. Hingga ketika akhirnya tak tertahankan lagi, ia pun keluar dari sarangnya dan pergi ke pinggir sungai, tempat macan itu biasa berada. Tidak usahlah ia menyapa. Cukup baginya hanya melihat pujaan hatinya dari jauh.
Dan setibanya ia di sana, girang benar hatinya begitu melihat si macan sedang duduk di tempat biasa mereka berbincang dulu. Diselingi cip-cip riang para burung yang sedang menikmati cerahnya sang mentari dan semilir angin yang mengibarkan dedaunan. Pemandangan di hadapan itu bak lukisan di matanya.
Namun mata adalah jendela hati. Terlihat mata si macan sedang menatap kejauhan, searah dengan aliran sungai yang tenang, tetapi kosong seakan sedang tak berada di sana. Macan melamun, sadar semut. Terbesit harap dalam diri semut. Mungkinkah sedang memikirkan makhluk mungil menyusahkan ini?
Tetapi selanjutnya, insting peka yang dianugerahkan oleh Sang Kuasa menegangkan saraf-sarafnya, memberitahu bahwa bukan hanya mereka berdua saja yang ada di tempat itu. Sosok raksasa jutaan kali lipat besarnya dari dirinya sedang mengintai di balik rimbun semak-semak tak jauh dari mereka.
Seketika tubuhnya dingin. Raksasa itu mirip dengan monyet, tetapi jauh lebih besar dan jauh lebih kejam. Ia tahu dari ratunya, bahwa raksasa itu bernama manusia. Dan manusia selalu membawa benda seperti batang kayu panjang yang bisa meneriakkan maut pada penghuni hutan yang dibidiknya. Sekarang manusia itu sedang mengarahkan batang kayu mautnya itu pada macan betina yang sedang duduk-duduk di pinggir sungai. Macan tidak menyadari akan adanya ancaman maut di dekatnya.
Semut ingin berteriak, tetapi ia tak yakin dengan jarak sejauh tempatnya, macan akan mendengar. Sehingga kemudian, ia memutuskan berlari sekencang mungkin menghampiri kaki putih licin berbulu manusia itu dan menggigit sekencang-kencangnya. Ia hanyalah semut hitam pekerja. Tak memiliki gigi setajam semut petarung ataupun taring bangsa semut merah, tapi rupanya cukup untuk membuat si manusia berteriak kesakitan.
“ADUH!” Kira-kira begitu suara teriakannya.
Semut pun lega. Teriakan sekencang itu pasti akan menyadarkan macan akan keberadaan si manusia. Namun malang menimpanya. Sebuah tepukan menyakitkan mendarat di tubuhnya. "Semut sialan!" umpat manusia.
Kemudian manusia itu menoleh untuk melihat buruannya. Betapa kagetnya ia, begitu melihat ternyata si macan sudah berada di dekatnya dan dengan ganas menerkamnya. Manusia berteriak ketakutan. Tak sempat ia membidik batang kayu mautnya. Dengan sedikit pergumulan, manusia pun berhasil membebaskan diri dari cengkeraman si macan. Tanpa pikir panjang lagi, monyet raksasa itu mengambil langkah seribu.
Sesudah itu, macan menemukan semut yang mencintainya sedang terbaring di atas dedaunan kering dalam keadaan mengenaskan. Kakinya hanya tinggal dua, antenanya patah dan tubuhnya nyaris remuk. Nyawanya sudah hampir redup, namun rupanya Sang Kuasa masih memberikan kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan bagi pujaan hatinya.
"Jangan menangis, macanku. Makhluk mungil ini bangga bisa melindungimu." Kemudian lepaslah nyawanya.
Macan betina itu meraung penuh kesedihan dan penyesalan. Ia sendiri merindukan hari-hari bersama si semut kecil. Hari-hari yang jauh lebih berharga, dibandingkan hari-hari yang dihabiskannya belakangan ini bersama seekor macan jantan kuat namun membosankan.
Bila saja bisa memutar waktu, ia tidak akan pernah meragukan kesungguhan hati si semut. Mengapa ia bisa dibutakan oleh keadaan fisik? Tapi semuanya sudah terlambat, yang tersisa hanyalah penyesalan.
"Aku mencintaimu."
Sejenak ia terdiam mendengar ucapan makhluk hitam mungil itu. Menatap tak bergerak. Lalu sejenak jadi dua jenak, lalu tiga jenak, empat jenak dan pada jenak kelima, meledaklah tawanya.
Semut kecil itu merengut kesal mendengar tawa si macan betina. Padahal ia sudah sungguh-sungguh mengerahkan seluruh keberanian dan menyatakan cinta pada macan cantik pujaan hatinya.
"Aku serius lho!" ujarnya lagi.
Si macan akhirnya berhasil menghentikan tawanya, lalu berbatuk-batuk yang kedengaran dibuat-buat. "Ehem. Ehem. Ehem." Lalu ia menatap si semut kecil. Kendati ia berusaha untuk serius, tapi sulit sekali rasanya menahan rasa geli di perutnya. Bibirnya terus menerus mengulum senyuman. Mungkin kelihatan meledek, tapi macan tak bisa menahan diri.
"Semut, maaf ya. Kamu makhluk yang tak sepadan buatku. Apa kau tidak lihat? Tubuhmu begitu mungil, dan aku begitu besar," kata macan blak-blakan. "Bila diibaratkan, kita berdua bagaikan langit dan bumi. Bulan dan matahari. Siang dan malam. Lautan dan daratan. Surga dan..."
"Cukup cukup cukup!" potong semut sambil menutupi kedua antenanya dengan kaki depannya. "Tentu saja aku mengerti maksudmu, macanku. Aku sadar kita memang berbeda. Tapi apa cinta peduli dengan semua itu?"
Macan menggeleng tak habis pikir. "Aneh sekali kamu ini, semut. Bukannya kamu diciptakan untuk mencintai ratumu, tapi kenapa kamu malah mencintai aku? Apa kau tidak tahu bahwa aku ini pemakan daging?" Macan betina itu memamerkan taring tajamnya yang selama ini ampuh menciutkan nyali pemburu.
Semut tertawa melihat kelakuan macan. "Macanku, alih-alih membuatku takut, kamu malah membuatku semakin terpesona padamu. Lagipula aku tahu kau tidak suka daging semut kan?"
Macan pun tertawa. "Aku suka padamu, teman kecilku. Kau cerdas. Memang benar, aku harus memakan ribuan makhluk seukuranmu untuk mengenyangkan perut. Lalu macan betina itu memasang wajah serius dan berkata hati-hati. "Tapi maaf ya, semut. Bagaimana pun juga, seekor betina tentunya mencari jantan kuat yang bisa melindungi. Bagaimana mungkin kau bisa melakukannya dengan tubuh sekecil itu? Apa kau ingat? Malah aku yang melindungimu waktu itu."
Semut pun terdiam mendengar kata-kata macan. Memang seminggu yang lalu, dirinya hampir mati tenggelam karena jatuh dari pohon tempat tinggalnya. Untunglah tubuhnya mendarat tepat di atas daun mengambang di atas permukaan sungai, tapi celakanya kaki-kaki mungilnya hanya difungsikan untuk mencari makan, bukan mendayung. Jadilah si semut terancam tenggelam atau mati kelaparan di tengah sungai.
Dengan sisa tenaganya, ia berteriak sekuat tenaga dan untunglah si macan betina kebetulan lewat dan suaranya berhasil ditangkap telinga segitiga berbulu loreng si macan. Alhasil, terjadilah penyelamatan heroik -bagi-si-semut-tentunya. Dan itulah perjumpaan kali pertama mereka.
"Tapi aku yakin. Aku bisa melindungimu, macanku." Semut bersikeras. "Cintaku akan menyelamatkanmu!"
Tapi Macan betina cuma mengangkat bahu menanggapi ucapan romantis itu. "Kuharap begitu, semut. Jika memang begitu adanya, aku bersedia menjadi kekasihmu."
Semut pun girang. Di hari-hari selanjutnya, ia selalu mengawasi kemana pun si macan betina pergi. Dengan penuh tekad, akan melindungi macan. Macan pergi ke kiri, semut ikut ke kiri. Macan ke kanan, semut ikut ke kanan dan begitu seterusnya. Tak kenal letih mengejar macam dengan kaki-kaki mungilnya. Tak kenal malu disoraki seantero penghuni jagad hutan.
Hingga suatu hari, macan kesal dengan tingkah si semut. "Berhentilah mengikutiku! Kau membuatku kesal! Lagipula sudah ada macan jantan yang menyukaiku, kau bisa membuat semuanya jadi berantakan!"
Semut sangat terpukul mendengarnya. Dengan penuh rasa kepedihan dan berat di hati, dipenuhinya permintaan si macan. Bila memang pujaan hatinya bahagia tanpa dirinya, maka ia tidak akan keberatan bila harus menderita.
Hari demi hari berlalu. Namun semut tidak dapat melupakan cintanya pada macan betina yang cantik itu. Kerinduannya menumpuk hampir meledak di dada. Hingga ketika akhirnya tak tertahankan lagi, ia pun keluar dari sarangnya dan pergi ke pinggir sungai, tempat macan itu biasa berada. Tidak usahlah ia menyapa. Cukup baginya hanya melihat pujaan hatinya dari jauh.
Dan setibanya ia di sana, girang benar hatinya begitu melihat si macan sedang duduk di tempat biasa mereka berbincang dulu. Diselingi cip-cip riang para burung yang sedang menikmati cerahnya sang mentari dan semilir angin yang mengibarkan dedaunan. Pemandangan di hadapan itu bak lukisan di matanya.
Namun mata adalah jendela hati. Terlihat mata si macan sedang menatap kejauhan, searah dengan aliran sungai yang tenang, tetapi kosong seakan sedang tak berada di sana. Macan melamun, sadar semut. Terbesit harap dalam diri semut. Mungkinkah sedang memikirkan makhluk mungil menyusahkan ini?
Tetapi selanjutnya, insting peka yang dianugerahkan oleh Sang Kuasa menegangkan saraf-sarafnya, memberitahu bahwa bukan hanya mereka berdua saja yang ada di tempat itu. Sosok raksasa jutaan kali lipat besarnya dari dirinya sedang mengintai di balik rimbun semak-semak tak jauh dari mereka.
Seketika tubuhnya dingin. Raksasa itu mirip dengan monyet, tetapi jauh lebih besar dan jauh lebih kejam. Ia tahu dari ratunya, bahwa raksasa itu bernama manusia. Dan manusia selalu membawa benda seperti batang kayu panjang yang bisa meneriakkan maut pada penghuni hutan yang dibidiknya. Sekarang manusia itu sedang mengarahkan batang kayu mautnya itu pada macan betina yang sedang duduk-duduk di pinggir sungai. Macan tidak menyadari akan adanya ancaman maut di dekatnya.
Semut ingin berteriak, tetapi ia tak yakin dengan jarak sejauh tempatnya, macan akan mendengar. Sehingga kemudian, ia memutuskan berlari sekencang mungkin menghampiri kaki putih licin berbulu manusia itu dan menggigit sekencang-kencangnya. Ia hanyalah semut hitam pekerja. Tak memiliki gigi setajam semut petarung ataupun taring bangsa semut merah, tapi rupanya cukup untuk membuat si manusia berteriak kesakitan.
“ADUH!” Kira-kira begitu suara teriakannya.
Semut pun lega. Teriakan sekencang itu pasti akan menyadarkan macan akan keberadaan si manusia. Namun malang menimpanya. Sebuah tepukan menyakitkan mendarat di tubuhnya. "Semut sialan!" umpat manusia.
Kemudian manusia itu menoleh untuk melihat buruannya. Betapa kagetnya ia, begitu melihat ternyata si macan sudah berada di dekatnya dan dengan ganas menerkamnya. Manusia berteriak ketakutan. Tak sempat ia membidik batang kayu mautnya. Dengan sedikit pergumulan, manusia pun berhasil membebaskan diri dari cengkeraman si macan. Tanpa pikir panjang lagi, monyet raksasa itu mengambil langkah seribu.
Sesudah itu, macan menemukan semut yang mencintainya sedang terbaring di atas dedaunan kering dalam keadaan mengenaskan. Kakinya hanya tinggal dua, antenanya patah dan tubuhnya nyaris remuk. Nyawanya sudah hampir redup, namun rupanya Sang Kuasa masih memberikan kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan bagi pujaan hatinya.
"Jangan menangis, macanku. Makhluk mungil ini bangga bisa melindungimu." Kemudian lepaslah nyawanya.
Macan betina itu meraung penuh kesedihan dan penyesalan. Ia sendiri merindukan hari-hari bersama si semut kecil. Hari-hari yang jauh lebih berharga, dibandingkan hari-hari yang dihabiskannya belakangan ini bersama seekor macan jantan kuat namun membosankan.
Bila saja bisa memutar waktu, ia tidak akan pernah meragukan kesungguhan hati si semut. Mengapa ia bisa dibutakan oleh keadaan fisik? Tapi semuanya sudah terlambat, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Cinta Si Semut Kecil by Anggra T is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.
Komentar
Posting Komentar