Second round of editing my main project ~.~


Cerita ini sebenarnya sudah kubuat sejak masih duduk di bangku kuliah semester awal. Ingat banget, ditulis waktu ngejalanin semester pendek. ^o^ Cerita simpel, cenderung klise, tapi dibuat dengan seluruh jiwa raga dan ----- Oke, that's lebay. XD 

Here's the thing. Ini adalah hasil revisian ke-2 setelah versi awal di kemudian.com atau di companion blog-ku di WP. Akhirnya jadi juga. Mohon komentarnya bila ada yang perlu diperbaiki. Terima kasih atas bantuannya ^^

ASTARIA: I. SANG GADIS HUTAN

            Seharusnya ia pulang sekarang.
Fay mendesah. Sulit rasanya menggerakkan kakinya menjauhi Danau Swan. Ia pun  bergeming, menatap kedua kawannya melompat-lompat sambil berteriak-teriak memangilnya. Wen si kelinci hutan dan Felix si anak serigala putih.
Tentu saja mereka sebenarnya hanya mencicit dan mengeram, tetapi ia memiliki bakat untuk berkomunikasi dengan makhluk tanpa kata sedari lahir. Seruan mereka saat ini adalah ajakan berenang di danau kecil itu. Hari yang panas membuatnya amat sangat tergoda.
           
            “Fay, ngapain bengong di situ!”
            Fay mendesah sebagai tanggapan panggilan Wen. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ketigabelas dan ibunya sudah mewanti-wanti supaya ia pulang sesegera mungkin. Jelas akan ada acara makan bersama keluarga kecil mereka. Berenang akan membuatnya terlambat.
Tetapi danau itu berkilau menggoda -Fay berani bersumpah ia baru saja melihat kilauan itu- dan sepertinya airnya pun sejuk.
“Ibuku akan marah. Beliau sudah menunggu kayu-kayu bakar ini”, katanya pada Wen sambil menunjukkan kayu-kayu bakar yang bergelantungan di punggungnya.
            “Bermain kan  bukan dosa, Fay!” seru Felix.
            “Hari ini malam bulan penuh.”
Itu alasan lain yang membuatnya tidak mungkin mengikuti ajakan menggiurkan itu, tetapi sebenarnya alasan-alasan itu lebih ditujukan sebagai peringatan diri.
“Ini masih siang!”
Pertahanannya semakin goyah.
            “Kata ibuku, manusia itu seharusnya lebih serius bermain, supaya mereka tidak terus-terusan berperang!” tambah Wen sok tahu.
            Angin berdesir dan membuat dedaunan pohon beringin yang berdiri di dekat gadis itu bergoyang. Fay mendelik ke arah pohon itu. “Kau juga jangan menggodaku, Pak Beringin.
            Daun-daun pohon kembali melambai-lambai seakan mengiyakan.
            “Ayo, Fay! Ayo!” Wen si provokator itu malah langsung menceburkan diri. Cipratan airnya langsung membuat tubuh gadis itu basah.
            “Hei!”
Felix pun ikut-ikutan menceburkan diri, membuatnya semakin basah.
“Hei! Awas kalian! Kulaporkan pada ibu kalian baru tahu rasa!” seru Fay geram lalu segera melepaskan seluruh pakaiannya –toh sudah kepalang basah- dan menyusul teman-teman binatangnya yang kini sedang mencicit dan mengeram geli melihat kegusarannya.
            “Hei! Awas, Felix! Fay si pengadu mau memakan kita!”
            Untuk beberapa waktu, danau dan hutan Swanna menjadi saksi keceriaan ketiga makhluk berlainan jenis itu bermain hingga lupa waktu. Begitu matahari mulai tenggelam dan para binatang malam mulai keluar menyambut hari mereka, barulah menyentil kesadaran Fat bahwa ia sudah membuat masalah.
            “Celaka!”
Ia berseru frustasi. Tetapi terlambat. Malam bulan penuh adalah malam dimana bulan bersemangat untuk menunjukkan dirinya, walaupun hari baru menjelang malam, sang bulan sudah siap untuk menyinarkan dirinya.
Fay mengeluh. Rasa panas yang tak asing mulai terasa dari dada menyebar ke seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan tubuhnya berubah. Dari seorang gadis kecil menjadi seorang wanita dewasa. Warna kulitnya menggelap. Telinganya perlahan memanjang, begitu pun dengan rambutnya. Menjadi putih sewarna gading.
“Kalian sih! Mengajak main-main terlalu lama!” gerutunya.
Wen dan Felix hanya memandangnya dengan rasa tidak enak hati. “Aduh. Maaf, Fay. Tak sangka malah jadi begini.”
Fay merengut diam. Mau marah-marah pun percuma karena sudah terjadi. Sekarang tinggal mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya lalu pulang dan menghadapi kemarahan ibunya. Fay meringis dalam hati. Ibu sangat menyeramkan bila sedang marah.
“Pakai ini, Fay.” Seekor beruang menghampirinya lalu menghempaskan sebuah jubah wol berwarna hijau tua.
Fay berseru senang. “Terima kasih, Rhata! Kau memang beruang paling ganteng seantero hutan Swanna!”
Beruang itu pun mengeram senang.
Jubah itu terlalu besar untuknya tetapi cukup hangat. Malam semakin cepat menyelimuti dunia hijau itu dan Fay harus sesegera mungkin sampai di rumah. Semakin malam ia sampai, maka akan semakin tinggi kadar kemarahan ibunya.
***

“Dari mana saja kau, Fay Leen?!”
Fay menunduk di bawah tatapan tajam berbahaya mata coklat Julia, ibunya. Bila nama panjangnya sudah disebutkan seperti itu berarti ia sudah dalam masalah besar.
“Dan apa-apaan dengan penampilanmu itu!” tambah ibunya masih dengan nada tinggi. “Sudah tahu malam ini, malam bulan penuh! Lalu kau ingat tadi Ibu suruh apa?!”
Fay semakin menunduk. Ia meninggalkan kayu-kayu bakarnya di pinggir danau tadi karena terlalu panik. “Maaf, Bu.”
“Sudahlah, Julia.”
Terdengar suara berat khas lelaki dewasa. Pamannya, Lon, muncul di belakang ibunya. “Toh aku sudah mendapatkan cukup banyak kayu bakar untuk hari ini.” Pria berambut coklat acak-acakan itu menyunggingkan senyuman lebar mempesona yang biasanya sulit ditolak oleh gadis-gadis Wasugi, desa yang terletak di dekat hutan Swanna ini. Fay langsung berseru girang dalam hatinya melihat pamannya campur tangan.
Tapi nampaknya tidak mempan bagi ibunya. Telinga elf-nya bergerak-gerak gusar. Ibunya yang berdarah setengah elf itu mendelik tajam terhadap Lon. “Kau terlalu memanjakannya, Lon.”
“Hari ini kan hari ulang tahunnya,” tambah Lon lagi. Fay diam-diam melirik ibunya penuh harap. Semoga pesona Lon kali ini mempan untuk ibunya.
Dan doanya terkabul. Akhirnya ibunya menghela nafas setelah beberapa saat diam. “Baiklah, kali ini aku memaafkanmu. Tapi lain kali jangan coba-coba lagi membuatku khawatir seperti ini, kalau kau ingin menikmati makan malammu.” Masih dengan tatapan galak. “Cepat ganti bajumu sebelum kau kedinginan.” Suaranya kini sedikit melembut.
Fay langsung mengangguk dengan cepat dan segera berlari ke kamarnya sebelum beliau berubah pikiran.
“Kalau sudah dewasa, dia pasti akan menjadi cantik seperti itu.” Fay sempat mendengar Lon berkata begitu sesaat sebelum ia masuk ke dalam kamarnya. “Mungkin sinar bulan penuh yang menampakkan wujud aslinya.”
“Mungkin saja.” Ibunya menjawab. “Tapi fenomena yang dialami Fay cukup aneh bahkan bagi keturunan elf murni.”
Fay menutup pintunya, lantas berdiri di depan cermin dan menatap gadis yang berdiri di dalam cermin itu.
Mungkin inilah diriku beberapa tahun lagi.
Menurut Lon ia cantik, tetapi -bukannya Fay tidak suka dibilang cantik- ia tidak nyaman dengan wujud ini. Walaupun kaki-kakinya lebih panjang sehingga bisa melangkah lebih jauh, tapi ia tidak seleluasa bergerak seperti dengan tubuh usia tiga belasnya. Jika beberapa tahun lagi ia akan menjadi seperti ini -ia mendesah lesu- lebih baik tidak usah menjadi dewasa sekalian.
Seperti ibunya.
Ya, ibunya adalah seorang setengah elf. Di usia beliau yang sudah pertengahan kepala tiga, ibunya masih tampak seperti manusia di usia awal dua puluhan. Ia dan ibunya bila disandingkan, lebih mirip kakak beradik, dibandingkan ibu dan anak. Tubuhnya pun mungil tidak seperti para elf umumnya –Fay belum pernah bertemu dengan elf, tapi kata Lon elf adalah bangsa yang memiliki tubuh paling tinggi dibandingkan bangsa lain.
Fay mendesah. Mungkin bila ayahnya pun seorang elf, ia pasti bisa awet muda seperti ibunya. Ia memang tidak mengenal ayahnya, karena ibunya tidak pernah mau menceritakannya. Tapi menurut Lon, ayahnya manusia.
Eh, tapi dia juga tidak mau kalau jadi anak-anak terus. Sebal rasanya setiap kali Lon memanggilnya anak kecil.
“Fay! Kalau kau mau lama-lama di sana, makananmu keburu habis oleh Lon!”
Seruan ibunya membuat Fay gelagapan. Direnggut paksa dari lamunannya. Buru-buru dicari pakaiannya di lemari, bersamaan dengan itu jubah hijau tua itu dihempaskannya ke lantai. Bunyi logam bertemu lantai membuatnya terhenyak.
Fay menoleh. Suara itu berasal dari jubah hijaunya. Penasaran, diambilnya jubah itu dan ia menemukan sumber suara itu. Disipitkan matanya menatap pin perak berukiran bunga rumput aneh yang tersemat dipinggir jubah. Rupanya ia tidak melihat pin itu tadi karena hari sudah gelap.
“FAY!”
“Iya, Bu!” serunya spontan. Gawat. Ibunya pasti akan menyusul bila ia tidak segera turun. Pin aneh itu bisa menyusul nanti.
“Lama sekali!” omel ibunya begitu melihatnya turun. Tetapi tangannya direntangkan siap memeluknya. Fay cuma menyengir lebar menanggapi ocehan itu lalu masuk dalam pelukannya.
“Aku jadi merasa beruntung bisa melihat wujud dewasamu sekarang,” ujar ibunya tersenyum dan mengecup sayang keningnya.
“Kalian lebih mirip kakak beradik daripada ibu dan anak,” celetuk Lon tertawa lalu ikut nimbrung mengecup kening Fay. “Kita bersulang, Fay.” Lon memberikan segelas kecil jus anggur padanya.
“Jus anggur lagi,” protes Fay. “Aku kan sudah dewasa!”
“Badan dewasa, otak balita,” ledek Lon sambil menyentil jahil dahi gadis itu. Tanpa peduli dengan gerutuannya, pria itu mengangkat gelasnya sendiri. Diikuti yang lain.
“Semoga Tuan Putri selalu sehat dan panjang usia!”
Bersama-sama ketiganya meminumnya.
“Tradisi aneh,” ujar Fay ketika mereka bertiga sudah duduk di meja makan dan menyantap makanan mereka. Ia mengacu pada tradisi bersulang barusan. “Apakah karena kita berasal dari Faran? Tidak ada anak-anak di pulau Lokia ini yang melakukannya. Apa jangan-jangan aku ini tuan putri di Faran?” Fay pun mentertawakan leluconnya sendiri.
“Karena di Faran semua anak perempuan dianggap tuan putri,” sahut Lon sambil menggigit paha ayam hutannya.
“Apakah kita harus selalu melakukannya setiap kali aku berulang tahun?” tanya Fay menatap ibu dan pamannya serius. “Menurut orang-orang desa, Faran adalah negeri barbar. Mereka suka membunuh dan menjajah dimana-mana. Aku tidak percaya aku ini berdarah Faran kalau bukan kau yang mengatakannya, Lon.”
Lon menyengir. “Aku juga tidak suka kenyataan bahwa aku pun berdarah Faran. Tapi yah...” Lon mengangkat bahu. “Apa boleh buat.”
“Aku ingin jadi ksatria yang hebat supaya bisa memperbaiki negeri bobrok itu.” Mata Fay berbinar penuh semangat. “Besok kau akan mengajariku jurus baru kan, Lon?”
Tetapi ibunya menggelengkan kepala. “Besok kau akan belajar tata krama.”
Fay langsung mengeluh protes. “Yah, Ibu... Ini memperlambat cita-citaku menjadi seorang ksatria!”
Lon tertawa. “Untuk menjadi ksatria, diperlukan lebih dari sekedar tubuh kuat dan jurus yang hebat, tapi tekad.”
“Tekad?”
Pria itu pun menunjukkan salah satu pergelangan tangannya yang terdapat bekas sayatan pisau. Fay mengenali luka itu. Dulu ia pernah menanyakannya, tetapi Lon menolak menjawab.
“Tanda sumpah darah.”
“Sumpah darah?” Kata-kata yang menarik.
PLAK!
Suara mengaduh Lon menyusul suara keras itu. “Aduh! Julia, kau kan tidak perlu memukulku dengan centong nasi itu!”
“Ini karena kau bicara yang tidak-tidak dengan anakku!” Mata coklat itu mendelik tajam. “Fay, jangan dengar kata-kata manusia ngawur ini! Akan tiba saatnya kau mengerti semuanya dan kuharap bukan dalam waktu dekat.”
Lon langsung menunduk diam. Siapalah yang bisa melawan centong nasi ibunya?
Fay pun tidak bertanya lagi, tetapi kata-kata Lon dan ibunya yang tidak dimengertinya itu melekat di kepalanya hingga pada saatnya ia tidur.
***
           
            “Seharusnya kau tidak berkelahi, Felix.”
            Felix mengeram kesakitan sewaktu Fay membersihkan luka di kakinya dengan air hangat. “Sakit, Fay!” teriak serigala kecil itu.
            “Makanya jangan berkelahi!”
            “Tapi Tuck dan kawanan serigalanya itu mengejek Wen!” protes Felix. “Katanya aku berteman dengan makanan. Yang benar saja! Wen bukan makanan, dia temanku!”
            Fay mendesah. Felix memang sering sekali bertengkar dengan geng serigala kecil yang dipimpin anak serigala gendut bernama Tuck. Ibu Felix pernah berkata bahwa Felix adalah serigala berbulu putih pertama yang lahir di dalam kawanan serigala mereka. Ini menandakan dirinya istimewa. Kemungkinan Tuck dan kawan-kawannya itu iri pada Felix.
            Wen mendekati Felix lalu menjilati wajah serigala itu. “Hihihi.. tapi aku senang kau membelaku. Terima kasih, Felix.”
Felix mendekur menanggapi cicitan Wen.
            Setelah selesai mengobati luka-luka Felix, Fay membungkus serigala kecil itu dengan jubah hijau tua yang ditemukan Rhata kemarin.
“Hangat, Fay. Terima kasih ya.” Felix mengeram penuh terima kasih. Wen pun ikut meringkuk di dalam jubah itu.
            “Kau sudah seperti ibu mereka, Fay,” komentar Rhata yang berbaring di sebelah mereka bertiga.
Fay pun tertawa.
“Lalu bagaimana ulang tahunmu kemarin? Ibumu tidak marah kan?”
            “Sempat marah sih tapi seperti biasa Lon menolongku.”
Perutnya masih bergejolak geli mengingat kejadian kemari. Kemudian ia teringat pada pin perak di jubah hijau itu dan berniat menanyakannya pada Rhata. Tetapi tepat pada saat ia hendak membuka mulut, Rhata mengeram waspada. Bulu-bulu hitam coklatnya serasa menegang. Felix dan Wen pun gemetar ketakutan di dalam pelukannya.
Tubuh Fay ikut menegang. Ada pemburu di dekat mereka.
Disiapkannya pedang pendek yang selalu dibawa di pinggang. Perlahan ia berdiri sambil tetap menggendong Felix. Sementara Wen melompat ke belakang punggung Fay. Rhata kini mengeram ke salah satu semak-semak.
“Tunggu! Aku tidak bermaksud menyakitimu!”
Seruan itu berasal dari semak yang ditatap Rhata. Fay menepuk lembut pundak beruang itu. “Siapa kau? Tunjukkan dirimu!”
Semak-semak itu pun bergoyang-goyang dan tak lama kemudian muncul seorang pemuda berambut emas berpakaian pemburu dari sana. Tubuhnya penuh dengan ranting dan dedaunan. Pemuda itu menyengir lebar menatap Fay sambil melirik cemas pada  Rhata. Kedua tangannya terangkat ke atas.
“Kau pemburu!” tuduh Fay sambil mengacungkan pedang pendeknya ke arah pemuda itu.
Rhata menambah ancaman dengan mengeram galak. “Pergi!”
Sabar dulu, Nona dan..." Ia melirik khawatir pada Rhata, "...dan beruang yang baik. Ya, aku memang pemburu tapi saat ini aku tidak sedang berburu. Lihat!” Pemuda itu mengangkat tangannya lebih tinggi. “Hanya ada pedang di pinggangku.”
            Fay menatap pemuda itu masih dengan pandangan curiga. Jelas ia tidak semudah itu percaya pada ucapan orang asing ini. Ia masih menimbang-nimbang pendapatnya mengenai pemuda itu.
            “Kelihatannya dia jujur, Fay.” Rhata berkata padanya setelah beberapa lama. “Dan kelihatannya manusia ini tertarik padamu.”
            Fay mengerutkan dahi dan menatap beruang itu tidak mengerti. Tertarik? Apa maksudnya?
“Namaku Rafe,” ujar pemuda itu. “Aku mencari jubahku yang hilang kemarin, tapi hmm.. nampaknya si kecil itu lebih membutuhkannya dariku.” Ia menatap Felix yang berada di dalam gendongan Fay.
Jadi jubah ini milik pemuda asing ini? Omongannya terasa masuk akal.
“Apa perlu kuusir dia?” eram Rhata galak membuat pemuda bernama Rafe itu melonjak kaget walaupun senyuman masih terhias di wajahnya.
“Hmm... apa kau bisa..hmm.. tolong katakan pada temanmu ini bahwa aku tidak berbahaya?” Rafe menatap Rhata takut-takut.
Sejenak Fay masih menatap pemuda itu dengan tatapan menilai, lalu akhirnya ia meminta Rhata membiarkan pemuda itu mendekati dan duduk bersama mereka, walaupun jarak yang diizinkan Fay cukup jauh dari mereka.
“Kau bisa berbicara dengan binatang?” Pemuda itu menatap Fay dengan tatapan kagum.
Fay terdiam lagi. Kembali menimbang apakah ia akan menjawab pertanyaan itu atau tidak. Akhirnya diputuskannya menjawab. “Pada makhluk tanpa kata.”
“Makhluk tanpa kata?”
“Binatang, tumbuhan, bebatuan, sungai, semua makhluk tanpa kata.”
“Wow!” Mata Rafe tambah bersinar penuh kekaguman. “Siapa namamu, Nak?”
Fay mendelik sebal. Nak?
“Aku sudah tiga belas tahun sejak kemarin.”
“Benarkah? Kau baru berulang tahun?” Senyuman Rafe bertambah lebar tanpa peduli nada dingin gadis itu. “Selamat ulang tahun kalau begitu. Hmmm... boleh tahu namamu?”
Lagi-lagi Fay menimbang dan sekali lagi pula memutuskan untuk menjawabnya. Senyuman Rafe membuatnya merasa nyaman. Perasaannya mengatakan bahwa ia bisa mempercayai pemuda ini. “Fay.”
“Fay.” Rafe mengucapkannya lagi seakan sedang merekam baik-baik di kepalanya. “Hati yang bijak. Namamu indah, seperti pemiliknya.”
Ada rasa senang menghinggapinya mendengar kata-kata itu. Sepertinya pemuda ini bisa menjadi teman yang asyik.
“Dia sedang merayumu, Fay.”
Fay menoleh pada Wen yang mencicit di sampingnya. “Apa?”
“Apa katanya?” tanya Rafe penasaran.
“Katanya kau sedang merayuku. Apa artinya?”
Sementara Rhata mengeram malas, tawa Rafe meledak.
“Mengapa kau tertawa?” Fay tersinggung.
“Aku tidak merayumu.” Mata Rafe berubah tajam dan bersinar aneh. “Kalau aku merayumu, aku akan melakukan ini.” Pemuda itu bergerak mendekatinya dengan cepat, bahkan Rhata pun tak sempat mengeram protektif. Tiba-tiba saja wajah pemuda itu berada dekat di wajahnya. Jarak mereka kurang dari sejengkal tangan dan selanjutnya bibir mereka bersentuhan sekilas.
Rhata mengaum gusar hendak menerjang Rafe.
“Rhata!” Seruan Fay langsung menahan beruang itu dan memberi cukup waktu bagi Rafe untuk segera menjauh.
“Manusia lancang! Akan kucincang kau!”
Dilihatnya pemuda itu nampak terpana sebelum kemudian menyengir maaf. “Padahal aku tidak bermaksud sampai menciummu, tapi kau terlalu manis.” Lalu ia bergeming, kembali dengan tatapannya yang aneh itu.
Fay membalas tatapan itu dengan mengerjap bingung. “Aku tidak mengerti? Apa merayu itu sama dengan tawaran persahabatan?”
Keheningan melanda tiba-tiba. Semua makhluk seakan mengkaku di tempat dengan mata terpaku pada dirinya. Mereka menatapnya seakan dirinya makhluk aneh entah dari mana. Dan keheningan itu pecah tak lama kemudian dengan derai tawa Rafe. Dahi Fay semakin berkerut bingung.
Bukankah apa yang dilakukan Rafe itu sama seperti ketika ibunya dan Lon lakukan terhadapnya? Bedanya mereka melakukannya di dahi atau pipinya. Itu ungkapan kasih sayang. Ungkapan persahabatan.
Apa yang lucu?
***

Komentar

  1. Mbak Anggra, sori banget baru komen.
    Versi yang ini jauh lebih nyaman dibaca dibandingin versi yang pernah aku baca sebelumnya. (Padahal aku sendiri enggak yakin bedanya di mana.*dimisil*)

    Satu hal yang menurutku kurang banget di cerita ini adalah foreshadowing yang numbuhin motivasi orang buat membaca. Maksudnya, pemaparan suatu misteri ato tanda-tanda bakal terjadinya masalah gitu. Suatu hal yang kayaknya baru bakalan terjelaskan nanti.

    Mbak Anggra bisa tambahin semacam pembuka latar kayak yang sering Chie bikin buat GLG. Mbak bisa maparin lebih banyak tentang emosi yang dirasain para tokoh. (e.g. 'Di hari ulang tahunnya yang ketiga belas itu, Fay merasa bahagia, dan berharap hari seperti itu dapat terjadi lagi tahun depan.') Ato Mbak juga bisa nyelip-nyelipin dalam narasi kata-kata yang menghantui. (e.g. 'Fey tak pernah mengetahui betapa lelaki yang baru dikenalnya itu kelak akan membuatnya mati.')

    Untuk selebihnya, mungkin Mbak tinggal nambahin lebih banyak tanda tanya? Yah, begitulah. Met berjuang!

    BalasHapus
  2. Thanks sarannya, Bang Al. OK, nanti akan kucoba perbaiki lagi. Akan kulihat lagi celah untuk memasukkan yang kau maksud itu.

    Tapi hmm... mengenai motivasi membaca, perlu nambahin prolog ga?

    BalasHapus
  3. Enggak perlu kalo ga pengen.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buah Insomnia: PILIHAN

Unfinished Work, That is Me (2)